TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK
Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman
Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.
Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000:143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga semakin kuat.
Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi:
(1) Reinforcement and Punishment;
(2) Primary and Secondary Reinforcement;
(3) Schedules of Reinforcement;
(4) Contingency Management;
(5) Stimulus Control in Operant Learning;
(6) The Elimination of Responses (Gage, Berliner, 1984).
Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Berikut akan dibahas karya-karya para tokoh aliran behavioristik dan analisis serta peranannya dalam pembelajaran.
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme (Slavin, 2000).
Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike yakni (1) hukum efek; (2) hukum latihan dan (3) hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991). Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat respon
Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.
Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991).
Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.
Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat. Pebelajar harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak (Bell, Gredler, 1991).
Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya mempengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000). Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.
TEORI BELAJAR KONSTRUKTIF
Dasar pemikiran konstruktivisme, yaitu pengetahuan yang merupakan hasil konstruksi manusia. Orang yang belajar tidak hanya meniru atau mencerminkan apa yang yang diajarkan, melainkan menciptakan sendiri pengertian (Bettencourt, dalam Suparno, 1997). Menurut ahli konstruktivisme, pengetahuan tidak mungkin ditransfer kepada orang lain karena setiap orang membangun pengetahuannya sendiri. Penerapan konstruktivisme dalam proses belajar-mengajar menghasilkan metode pengajaran yang menekankan aktivitas utama pada siswa (Fosnot, 1996; Lorsbach & Tobin, 1992).
Teori pendidikan yang didasari konstruktivisme memandang murid sebagai orang yang menanggapi secara aktif objek-objek dan peristiwa-peristiwa dalam lingkungannya, serta memperoleh pemahaman tentang seluk-beluk objek-objek dan peristiwa-peristiwa itu. Menurut teori ini, perlu disadari bahwa siswa adalah subjek utama dalam kegiatan penemuan pengetahuan. Mereka menyusun dan membangun pengetahuan melalui berbagai pengalaman yang memungkinkan terbentuknya pengetahuan. Mereka harus menjalani sendiri berbagai pengalaman yang pada akhirnya memberikan percikan pemikiran (insight) tentang pengetahuan-pengetahuan tertentu. Hal terpenting dalam pembelajaran adalah siswa perlu menguasai bagaimana caranya belajar (Novak & Gowin, 1984). Dengan itu, ia bisa jadi pembelajar mandiri dan menemukan sendiri pengetahuan-pengetahuan yang ia butuhkan dalam kehidupan.
Pembentukan pengetahuan menurut konstruktivistik memandang subyek aktif menciptakan struktur-struktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan. Dengan bantuan struktur kognitifnya ini, subyek menyusun pengertian realitasnya. Interaksi kognitif akan terjadi sejauh realitas tersebut disusun melalui struktur kognitif yang diciptakan oleh subyek itu sendiri. Struktur kognitif senantiasa harus diubah dan disesuaikan berdasarkan tuntutan lingkungan dan organisme yang sedang berubah. Proses penyesuaian diri terjadi secara terus menerus melalui proses rekonstruksi, yang terpenting dalam teori konstruktivisme adalah bahwa dalam proses pembelajaran, si belajarlah yang harus mendapatkan dukungan. Merekalah yang harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukan pembelajar atau orang lain. Mereka yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Penekanan belajar siswa secara aktif i perlu dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif siswa.
Belajar lebih diarahkan pada experimental learning yaitu merupakan adaptasi kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkrit di laboratorium, diskusi dengan teman sekelas, yang kemudian dikontemplasikan dan dijadikan ide dan pengembangan konsep baru. Karenanya aksentuasi dari mendidik dan mengajar tidak terfokus pada si pendidik melainkan pada peserta didik.
Beberapa hal yang mendapat perhatian pembelajaran konstruktivistik, yaitu: (1) mengutamakan pembelajaran yang bersifat nyata dalam kontek yang relevan, (2) mengutamakan proses, (3) menanamkan pembelajaran dalam konteks pengalaman sosial, (4) pembelajaran dilakukan dalam upaya mengkonstruksi pengalaman (Pranata, 2004)
Hakikat pembelajaran konstruktivistik oleh Brooks dan Brooks (1993)mengatakan bahwa pengetahuan adalah non-objective, bersifat temporer, selalu berubah, dan tidak menentu. Belajar dilihat sebagai penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi. Mengajar berarti menata lingkungan agar si belajar termotivasi dalam menggali makna serta menghargai ketidakmenentuan. Atas dasar ini maka si belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergentung pada pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya.
Dengan penjelasan tersebut, maka kita dapat menganalisis bahwa teori ini juga memiliki kelemahan, yakni:
(1) Siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, tidak jarang bahwa hasil konstruksi siswa tidak cocok dengan hasil konstruksi sesuai dengan kaidah ilmu pengetahuan sehingga menyebabkan miskonsepsi,
(2) Konstruktivisme menanamkan agar siswa membangun pengetahuannya sendiri, hal ini pasti membutuhkan waktu yang lama dan setiap siswa memerlukan penanganan yang berbeda-beda,
(3) Situasi dan kondisi tiap sekolah tidak sama, karena tidak semua sekolah memiliki sarana prasarana yang dapat membantu keaktifan dan kreatifitas siswa, dan yang kebih penting lagi
(4) meskipun guru hanya menjadi pemotivasi dan memediasi jalannya proses belajar, tetapi guru disamping memiliki kompetensi dibidang itu harus memiliki perilaku yang elegan dan arif sebagai spirit bagi anak sehingga dibutuhkan pengajaran yang sesungguhnya mengapresiasi nilai-nilai kemanusiaan. Kelemahan-kelemahan tersebut selanjutnya akan penulis sinergikan dengan pengajaran yang humanis cinta-kasih yang akan menjadi elan vital dari teori tersebut.
PRINSIP-PRINSIP PEMBELAJARAN
Berikut ini beberapa prinsip belajar perilaku adalah:
Peran konsekuensi-konsekuensi (Role of Consequences)
Prinsip yang paling penting dari teori-teori belajar perilaku ialah, bahwa perilaku berubah menurut konsekuensi-konsekuensi langsung. Konsekuensi-konsekuensi yang menyenangkan “memperkuat” perilaku. Bila seekor tikus yang lapar menerima butiran makanan waktu ia menekan sebuah papan, maka tikus itu akan menekan papan itu lebih kerap kali. Tetapi bila tikus itu menerima denyutan listrik, maka tikus itu akan menekan papan itu makin berkurang, atau berhenti sama sekali.
Konsekuensi-konsekuensi yang menyenangkan pada umumnya disebut “reinforser” (reinforcer), sedangkan konsekuensi-konsekuensi yang tidak menyenangkan disebut
hukuman (punishers).
Reinforser-reinforser
Reinfroser-reinforser dapat dibagi menjadi dua golongan yakni: 1)reinforser primer dan sekunder dan 2) reinforser positif dan negatif
• Reinfonser Primer dan sekunder. Reinforser primer memuaskan kebutuhan-kebutuhan dasar mansuia, misalnya makanan, air, keamanan, kemesraan, dan seks. Reinforser sekunder merupakan reinforser yang memperoleh nilainya setelah diasosiasikan dengan reinforser primer dan reinforser sekunder lainnya yang sudah mantap. Contoh: angka-angka dalam rapor baru mempunyai nilai bagi peserta didik, bila orang tuanya memberikan perhatian dan penilaian, demikian pujian orang tua mempunyai nilai sebab pujian itu terasosiasi dengan kasih sayang, kemesraan dan reinforser-reinforser lainnya. Uang dan angka rapor adalah contoh reinforser sekunder, sebab keduanya tidak mempunyai nilai sendiri, melainkan baru mempunyai nilai setelah diasosiasikan dengan reinforser primer atau reinforser sekunder lainnya yang lebih mantap.
Ada tiga kategori dasar reinforser sekunder, yaitu (a) reinforser sosial, seperti pujian, senyuman atau perhatian, (b) reinforser aktivitas, seperti pemberian mainan, permaianan atau kegiatan-kegiatan yang menyenangkan dan (c) reinforser simbolik, seperti uang, angka, bintang atau poin yang dapat ditukarkan untuk reinforser-reinforser lainnya.
• Reinforser Positif dan negatif. Kerap kali, reinforser-reinforser yang digunakan di sekolah merupakan hal yang diberikan kepada peserta didik. reinforser-reinforser ini disebut reinforser positif, yakni berupa pujian, angka, dan bintang. Tetapi adakalanya untuk memperkuat perilaku dengan membuat konsekuensi perilaku suatu pelarian dari situasi yang tidak menyenangkan. Misalnya, seorang guru dapat membebaskan para peserta didik dari pekerjaan rumah, jika ,ereka berbuat baik di kelas, jika pekerjaan rumah dianggap sebagai tugas yang tidak menyenangkan, maka bebas dari pekerjaan rumah ini merupakan reinforser. reinforser-reinforser yang berupa pelarian dari situasi-situasi yang tidak menyenangkan dsebut reinforser negatif.
Selain kedua jenis reinforser di atas ada satu prinsip perilaku penting ialah, kegiatan yang kurang diingini dapat ditingkatkan dengan menggabungkannya pada kegiatan-kegiatan yang lebih disenangi atau diingini. Sebagai ilustrasi misalnya seorang guru berkata pada muridnya: jika kamu telah selesai mengerjakan soal ini kamu boleh keluar atau bersihkan dahulu mejamu nanti ibu bacakan cerita. Kedua contoh ini merupakan contoh-contoh dari suatu prinsip yang dikenal dengan nama prinsip primack (Slavin 1994)
Para guru dapat menggunakan prinsip primack ini dengan menggabungkan kegiatan-kegiatan yang lebih menyenangkan dengan kegitan-kegiatan yang kurang menyenangkan dan membuat partisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang menyenangkan tergantung pada penyelesaian sempurna dari kegiatan-kegiatan yang kurang menyenangkan.
Hukuman
Konsekwensi-konsekwensi yang tidak memperkuat perilaku di sebut hukuman. Patut diperhatikan perbedaan reiinforsemen negatif (memperkuat perilaku yang diinginkan dengan menghilangkan konsekwensi yang tidak menyenangkan) dan hukuman yang bertujuan mengurangi perilaku dengan menghadapkan konsekwensi-konsekwensi yang tidak dinginkan.
Para pakar perilaku (Behavioris) berbeda pendapat mengenai hukuman ini. Ada yang berpendapat bahwa efek hukuman itu bersifat temporer, hukuman menimbulkan sifat menentang atau agresi. Ada pula para pakar yabng tidak setuju dengan pemberian hukuman. Tetapi mereka yang mendyukung menggunaan hukuman ini, pada umumnya setuju bahwa hukuman itu hendakny digunakan, bila reinforsemen telah dicoba dan gagal, dan hukuman diberikan dalam bentuk selunak mungkin, dan hukuman hendaknya selalu digunakan sebagai bagian dari suatu perencanaan yang teliti dan cermat, sebaliknya tidak dilaksanakan sebab frustasi.
Reinforser dapat diatur pemberiannya bagi pembentukan tingkah laku yang dikehendaki. Dapat dikatakan bahwa beberapa macam penjadwalan reinforcemen yang dapat dilakukan:
Contineous reinforcement
yaitu memberi penguatan terus menerus bila renspon yang dikehendaki muncul.
intermitten reinforcement
yakni jadwal reinforcement berantara, diberikan tidak pasti setiap respon yang benar tetapi hanya beberapa saja.
Pengatur reinforcer jenis ini dapat dilakukan dua cara :ratio schedule dan interval schedule.
• ratio schedule reinforcement yakni memberika reinforcement atas sejumlah tingkah laku yang dikehendaki tanpa memperhitungkan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tingkah laku atau sejumlah respon yang dimaksud.
• interval schedule reinforcement yakni pemberian reinforcement atas dasar waktu yang ditetapkan tanpa mempertimbangkan jumlah respon yang benar.
• interval schedule reinforcement yakni pemberian reinforcement atas dasar waktu yang ditetapkan tanpa mempertimbangkan jumlah respon yang benar.
Kesegeraan konsekuensi (immediacy of consequences)
Salah satu prinsip dalam teori belajar perilaku ialah bahwa konsekuensi yang segera mengikuti perilaku akan lebih mempengaruhi perilaku dari pada konsekuensi-konsekuensi yang lambat datangnya. Prinsip kesegeraan konsekuensi ini penting artinya di dalam kelas. Hususnya bagi murid-murid sekolah dasar, pujian yang diberikan segera setelah anak itu melakukan suatu pekerjaan dengan baik, dapat merupakan suatu reinforcement yang lebih kuat dari pada angka yang diberikan kemudian.
Pembentukan (shaping)
Selain kesegeraan dari reinforcement, apa yang akan diberi reinforcement juga perlu diperhatikan dalam mengajar. Bila duru membimbing peserta didik menuju pencapaian tujuan dengan memberikan reinforcement pada langkah-langkah yang menuju pada keberhasilan, maka guru itu menggunakan teknik yang disebut pembentukan.
Istilah pembentukan atau shaping digunakan dalam teori belajar perilaku untuk mengajarkan keterampilan-keterampilan baru atau perilaku-perilaku dengan memberikan reinforcement kepada para peserta didik dalam mendekati perilaku akhir yang dinginkan.
Secara sederhana langkah-langkah da;am pembentukan perilaku baru adalah sebagai berikut:
1. Pilihlah tujuan, (buatlah tujuan itu sehusus mungkin).
1. Pilihlah tujuan, (buatlah tujuan itu sehusus mungkin).
2. Tentukan sampai dimana siswa itu sekarang apa yang telah mereka ketahui.
3. Kembangkan satu seri langkah-langkah yang dapat merupakan jenjang untuk membawa mereka dari keadaan sekarang ketujuan yang telah ditetapkan. Bagi sebagian peserta didik langkah-langkah itu mungkin terlalu besar, utnuk sebagian lagi mungkin terlalu kecil. Ubahlah langkah-langkah itu sesuai dengan kemampuan setiap peserta didik.
4. Berilah umpan balik selama pelajaran berlangsung. Perlu diingat, makin baru materi pelajaran, makin banyak umpan balik yang dibutuhkan oleh siswa.
3. Kembangkan satu seri langkah-langkah yang dapat merupakan jenjang untuk membawa mereka dari keadaan sekarang ketujuan yang telah ditetapkan. Bagi sebagian peserta didik langkah-langkah itu mungkin terlalu besar, utnuk sebagian lagi mungkin terlalu kecil. Ubahlah langkah-langkah itu sesuai dengan kemampuan setiap peserta didik.
4. Berilah umpan balik selama pelajaran berlangsung. Perlu diingat, makin baru materi pelajaran, makin banyak umpan balik yang dibutuhkan oleh siswa.
Ikstingsi (extinction)
Tingkah laku akan terus berlangsung bila mendapat reinforcement. Tingkah laku yang tidak lagi diperkuat, pada suatu waktu akan hilang. Cepat lenyapnya suatu respon berkaitan dengan lamanya waktu terhadap respon yang telah diperkuat. Ekstingsi ini penting dalam proses perkembangan karena kemungkinan seseorang untuk menghilangkan tingkah laku yang tidak lagi bermanfaat.
• Generalisasi.
Tingkah laku yang dipelajari dalam suatu situasi rangsangan cenderung diulang dalam situasi-situasi serupa. Misal, anak perempuan yang pernah dijahili teman laki-lakinya menganggap semua teman laki-laki suka jahil.
• Diskriminasi (discrimination)
Seseorang juga memerlukan kecakapan membedakan situasi serupa tetapi berbeda. Diskriminasi dikembangkan melalui defferential reinforcement . dalam proses ini respon yang tepat pada stimulus tertentu akan diperkuat, sedangkan respon yang tidak tepat tidak diberikan reinforcement, maka individu dapat belajar memberikan respon yang benar hanya bilamana ada stimulus yang benar pula. Berbeda dengan generalisasi, asal stimulus itu mirip diberikan respon, yang sudah barang tentu ada keuntungan dan kekurangannya.
• Vicarious Learning atau Matched Dependent Behavior
• Vicarious Learning atau Matched Dependent Behavior
Manusia kadang dapat menyingkat proses belajar melalui imitasi terhadap tingkah laku sebagai model yang mempunyai kekuatan memberi ganjaran secara tidak langsnung (mediating rewerd). Proses belajar tersebut dinamai belajar vicarious atau matched dependent behavior yaitu proses belajar yang tidak melibatkan penguat langsnung tetapi melalui mengamati bahwa model mendapat penguat dari tingkah laku yang ditirunya. Contoh, seorang meniru gaya akting seorang aktor film yang menarik perhatian banyak orang.
LANGKAH-LANGKAH PEMBELAJARAN
Menurut Abu Ahmadi dan Joko Tri Prasetya.1997 hlm.160-161 perencanaan pembelajaran dibagi menjadi dua tahap. Setiap tahapan meliputi langkah-langkah kerja khusus.
Tahapan pertama pelaksanaan pembelajaran melalui lima tahap, tahapan ini dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
Tahapan pertama pelaksanaan pembelajaran melalui lima tahap, tahapan ini dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Penentuan tujuan instruksional. Berdasarkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang meliputi aspek-aspek kognitif, efektif, dan psikomotorik yang telah ditentukan untuk jangka waktu satu semester.
2. Menyusun tabel spesifikasi satuan bahasan atau silabus. Tabel ini memuat satuan-satuan bahasan yang akan disampaikan
3. Pengecekan tabel spesifikasi/ silabus dan penentuan tujuan instruksional yang disesuaikan dengan Standat Kompetensi dan Kompetensi Dasar serta pembagian waktu.
4. Penentuan alat untuk memeriksa hasil akhir belajar
5. Penentuan standar prilaku yang merupakan indikator tingkat penguasaan bahan oleh siswa.
Tahap kedua, merencanakan satuan pelajaran yang memungkinkan semua siswa atau mahasiswa dapat dan mau belajar tuntas. Langkah-langkah kegiatannya adalah sebagai berikut:
Tahap kedua, merencanakan satuan pelajaran yang memungkinkan semua siswa atau mahasiswa dapat dan mau belajar tuntas. Langkah-langkah kegiatannya adalah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi satuan pelajaran. Setiap satuan pelajaran hanya memuat satu himpunan indikator dan beberapa tujuan yang hendak dicapai.
2. Membuat tabel spesifikasi satuan bahasan. Tabel ini merupakan rincian bahan sebagai dasar usaha pengembangan lebih lanjut.Tbel ini memuat materi pembelajaran
3. Perencanaan kegiatan belajar mengajar atau skenario pembelajaran. Dimulai dari apersepsi, kegiatan inti yaitu menjelaskan materi pelajaran, tanya jawab, refleksi sampai kepada evaluasi untuk mengukur tuntas tidaknya pelajaran saat itu, kemudian penutupan pada proses pembelajaran.
4. Pemberian tugas tambahan agar lebih menguatkan lagi penguasaan materi pembelajaran.
Menurut M. Shohibul Kahfi 2003 hlm.17 Langkah pembelajaran disusun dalam dua tahap, yaitu pra kegiatan pembelajaran dan detil kegiatan pembelajaran. Pra kegiatan pembelajaran menggambarkan hal yang perlu dipersiapkan dan rencana kegiatan. Detil kegiatan menggambarkan secara rinci aktifitas pembelajaran yang tercantum dalam rencana kegiatan.